• “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah: 168)


Kuningan -  Menjalani kehidupan bagi sebagian orang mungkin terasa memberatkan. Tuntutan kebutuhan yang harus dipenuhi ditengah himpitan ekonomi, menjadi ujian yang bisa mengoyahkan keyakinan. Tentunya, bagi jiwa-jiwa yang lemah iman sangatlah mudah terperosok. Asal terpenuhi kebutuhan dan hidup berkecukupan jalan pintaspun ditempuh. 

Seperti diceritakan Didi Sutardi (67), warga Desa Cikadu Kecamatan Nusaherang, Kabupaten Kuningan. Pengalaman bersama orang yang menjual keimanan-nya untuk bersekutu dengan setan menjadi kisah hidup-nya yang tidak bisa dilupakan. 

Keinginan bebas dari himpitan ekonomi dan hidup berkecukupan, membuat dua sejawatnya memilih mengambil jalan pesugihan. "Pengalaman ini tidak bisa dilupakan. Saat itu saya masih berusia sekitar 30 tahunan, merantau di Sleman Yogyakarta tepatnya di Kecamatan Pakem Winangun. Bekerja sebagai tukang kredit barang kelontongan, pekerjaan yang populer waktu itu bagi kami," ucap Didi, memulai cerita pengalaman hidupnya. Sambil menarik napas dan mengingat-ingat kisah yang telah berpuluh-puluh tahun tersimpan. 

Sebagai perantau, Ia berbaur dengan masyarakat sekitar dan berkarib dengan dua orang warga setempat yang sama-sama berdagang. Yang pertama penjual cangkul, namun lupa lagi namanya. Dan satunya lagi, pak Hardo pemilik warung makan yang sangat sederhana.

Mungkin akibat kesulitan hidup atau keinginan usaha yang cepat maju, maka kedua teman-nya tergiur cara pintas dengan melakukan ritual pesugihan ke Gunung Kawi. Apalagi masa itu sekitar tahun 80-an mistis dan klenik sangat kental

Ia tahu kedua teman-nya melakukan pesugihan ke Gunung Kawi karena sempat diajak menemani. Yang menurut pengakuan dua teman-nya itu, mendatangi tempat tersebut bersama Dia untuk yang ke tiga kalinya.

Diceritakan Abah Ewok, biasa kini Didi dipanggil warga. Perjalanan menemani kedua sejawatnya, yang harus ditempuh dari tempat tinggal di Sleman menuju Malang Jawa Timur tempat Gunung Kawi berada, berpuluh kilometer. Singkat cerita, sampailah mereka ditempat yang dituju lewat tengah malam. "Kami berangkat Rabu sore dan tiba di Malang sekitar tengah malam. Istirahat di penginapan, untuk kemudian menemui kuncen (juru kunci) Gunung Kawi  ke-esokan harinya Kamis malam Jumat," cerita Didi.

Setelah istirahat, Kamis sore hari atau malam Jumat, berangkatlah dari penginapan menuju lokasi untuk menemui juru kunci. "Kami naik ke gunung dan sampailah dideretan pesarean (kuburan). Lalu, dengan bimbingan  juru kunci, melakukan ritual disana. Kuburan-nya banyak, dan bagus-bagus," terang Didi.

Bersama seorang pengunjung yang mungkin berhajat sama. Kami khusu mengikuti setiap ritual yang dilakukan. Bau kemenyan yang dibakar tercium jelas diiringi jampi-jampi dari juru kunci sambil menghadap sesaji di depan petilasan.

Setelah melakukan ziarah di pesarean, malam-nya kami diantar masuk ke ruangan kamar seukuran 4x6 tanpa penerang, hanya sedikit cahaya yang masuk melalui sela-sela pintu. "Saya, dua orang teman dan seorang pengunjung yang tadi bersama-sama melakukan ritual ziarah, kemudian ditinggal juru kunci didalam kamar," terang Didi.

Kami yang didalam ruangan gelap, lanjut Didi, hanya beralas karpet tipis. Obrolan ringan sesekali keluar dari mulut kami sebelum rasa kantuk mendera.

Sekitar satu jam-an, pintu terbuka dan masuklah juru kunci membawa lilin penerang dan berbagai alat makan. Ada piring, gelas, sendok, serta tempat nasi, yang kemudian diletakan-nya di lantai kamar. 

"Ini nanti kalau kalian bangun tidur tersedia hidangan, silahkan untuk dimakan," ucap juru kunci terdengar jelas. Kemudian, Ia beranjak keluar dengan membawa lilin-nya, menutup pintu masuk dan kembali gelaplah ruangan yang kami tempati.

Waktu semakin malam, rasa kantukpun menyergap orang-orang yang ada didalam kamar. "Kecuali saya. Mata ini bener-bener sulit untuk terpejam," ucap Didi.

Sementara yang lain pulas dengan mimpinya, apalagi mungkin kecapaian perjalanan jauh. "Bagi saya malam ini terasa membosankan. Sudah berbaring kekiri, ke kanan dan telungkup-pun tetap saja rasa kantuk masih jauh," keluhnya.

Dalam ruangan yang terdengar hanya suara napas teman-nya yang tertidur pulas. "Mungkin sekitar waktu tengah malam-man, karena sulit melihat jam di ruangan yang gelap. Tiba-tiba pintu terbuka dan masuklah empat ekor anjing berukuran besar menuju tempat peralatan makan, bau hangru (amis) seketika memenuhi ruangan. Saya yang waktu itu kebetulan sedang dalam posisi terbaring miring ke arah tempat diletakan-nya peralatan makan kaget bukan kepalang disertai perasaan gemetar, takut serta merinding sehingga sulit untuk bangun. Seperti kaku, mata saja yang bisa melihat,"

Ruangan yang tidak lagi segelap sebelumnya karena ada cahaya yang masuk dari pintu yang terbuka. Samar terlihat keempat ekor anjing besar itu membuang kotoran di atas tempat peralatan makan. Ada yang memuntahkan seperti cacing di piring, ada yang kencing di gelas serta buang kotoran besar ditempat nasi. Setelah selesai buang kotoran, keempat hewan najis itu beranjak keluar dan pintupun tertutup kembali. Seketika ruanganpun kembali gelap. 

"Saya masih terbaring kaku, sekitar limabelas menitan, badan mulai lemas. Rasa kaku perlahan sirna, kesadaranpun mulai pulih. Setelah semua normal, sayapun bangun sambil mengucek mata. Namun, karena waktu masih malam saya belum berani membangunkan yang lain. Saya hanya duduk bersandar ke dinding ruangan, dengan mengingat-ingat kejadian tadi yang serasa mimpi," jelasnya.

Hingga sinar matahari pagi masuk ke ruangan melalui sela-sela pintu, saya masih bersandar di dinding kamar. Saat itu mereka yang tertidur pulas mulai membukakan matanya. Dan entah masih dibawah alam sadar atau merasa lapar, ketiga-nya kemudian menghampiri tempat makan yang disediakan juru kunci yang tadi menjadi tempat menampung kotoran hewan yang masuk semalam.

"Ayo kita makan, lapar nih. Nampaknya, makanan masih hangat, kelihatan ada asapnya," ajak pak hardo, diikuti yang lain-nya. 

Sementara saya, dengan alasan masuk angin beranjak keluar kamar sambil muntah-muntah.

Penulis: Baim

BERSAMBUNG KE BAGIAN 2 : Harta Melimpah Keluarga Menjadi Tumbal