PSC, Jakarta - Pelaksanaan
Hari Pers Nasional di Kota Padang, Sumatera Barat yang dihadiri langsung
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dan sejumlah menteri kabinet termasuk
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Tito Karnavian, rupanya tidak memberi
pencerahan bagi aparat penyidik Polda Sumatera Barat untuk menyelesaikan
sengketa pers sesuai UU No.40 tahun 1999 tentang Pers.
Wartawan Koran Jejak News Ismail Novendra hingga kini tetap saja diproses
sebagai tersangka dengan tuduhan pencemaran nama baik dan penghinaan terkait
berita yang dimuatnya di koran Jejak News pada (28/8) tahun lalu. "Untuk
itu kami dengan tegas meminta Kapolri segera mencopot Inspektur Jenderal Polisi
Fakhrizal dari jabatan sebagai Kapolda Sumbar," tandas Ketua Umum DPP
Serikat Pers Republik Indonesia Heintje Mandagie dalam siaran persnya. Kapolda
Sumbar, menurut Mandagi, memiliki conflict of interest terkait kasus ini karena
ikut disebut dan dikaitkan dalam pemberitaan koran Jejak News yang diliput
Ismail Novendra.
Mandagi juga menegaskan, dalam menangani kasus ini oknum penyidiknya
bertindak tidak profesional karena menggunakan pasal pidana penghinaan dan
pencemaran nama baik terhadap sebuah karya jurnalistik yang dihasilkan Ismail
Novendra. Seharusnya Kapolda bisa memerintahkan penyidik menggunakan
pasal-pasal di dalam UU Pers yang mengatur tentang hak jawab, hak koreksi, dan
kewajiban koreksi dalam menangani sengketa pemberitaan pers, sehingga korban
pemberitaan, dalam hal ini pimpinan PT Bone Mitra Abadi dapat menggunakan hak
jawab di koran Jejak News untuk mengklarifikasi kasus yang dituduhkan
kepadanya.
Lebih jauh dikatakan, Kapolda Sumbar tidak mengindahkan sama sekali Nota
Kesepahaman antara Dewan Pers dan Kapolri terkait penanganan pengaduan perkara
pemberitaan pers, karena penetapan Ismail Novendra sebagai tersangka pasti
diketahui Kapolda karena ada aksi unjuk rasa penolakan keras dari wartawan
rekan-rekan sejawat Novendra.
DPP SPRI menilai, Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Kapolri tersebut
memang tidak memiliki dasar hukum, terlebih kesepahaman tersebut dibuat antara
Kapolri dengan Dewan Pers namun bukan dengan Jaksa Agung. Sehingga pada
prakteknya Nota Kesepahaman tersebut tidak berjalan sesuai harapan, dan justeru
pada prakteknya wartawan sering dikriminalisasi terkait pemberitaan pers.
Sementara itu, Dewan Pers sebagai lembaga yang dilahirkan oleh UU Pers
dengan tujuan untuk mengembangkan kemerdekaan pers justeru tidak berbuat
apa-apa ketika Ismail Novendra terancam dipidana. Surat permohonan bantuan yang
dilayangkan Ismail kepada Dewan Pers agar dirinya tidak dipidana terkait
pemberitaan hanya dijawab Dewan Pers dengan surat yang berisi penjelasan dan
saran. Tidak ada tindakan bantuan dari Dewan Pers untuk menghentikan upaya
penyidik Polda Sumbar mempidanakan karya jurnalistik yang dibuat Ismail
Novendra, padahal dalam kasus ini kemerdekaan pers jelas-jelas tercederai.
Bagi SPRI sesunggunya Kapolri tidak perlu membuat Nota Kesepahaman dengan
Dewan Pers jika semua penanganan sengketa pers merujuk pada UU Pers karena
sudah ada Yurisprudensi putusan tingkat kasasi Mahkamah Agung RI terhadap
mantan Pemred Majalah Tempo Bambang Harymurti. Ketika itu Mahkamah Agung
memutuskan membebaskan Bambang dengan pertimbangan bahwa UU Pers adalah Lex
Spesialis atau aturan khusus di atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Putusan kasasi MA itu juga untuk melindungi kebebasan pers dan tugas-tugas
kewartawanan.
"Mengacu dari keputusan tersebut seharusnya Kapolri dan Jaksa Agung
lah yang paling tepat membuat nota kesepahaman agar di kemudian hari tidak
terjadi lagi kesalahan yang sama dalam penanganan kasus sengketa pers,
sehingga kemerdekaan pers benar-benar dijamin oleh aparat penegak hukum
bukannya Dewan Pers yang selama ini terbukti gagal menegakan kebebasan pers,"
ujar Mandagi mengusulkan. (TIM)
Salam
Perjuangan Kemerdekaan Pers
Ketua
Umum DPP SPRI
Heintje
Mandagie
0 Komentar