masukkan script iklan disini
![]() |
Wilson Lalengke |
Oleh : E. Widiyati
Sumber Koran Online Pewarta Indonesia (KOPI)
PSC, Jakarta - Hari ini saya hendak menulis tentang orang biasa yang telah
menjadi luar biasa, karena ketekunannya ialah mengenai sdr Wilson Lalengke.
Pada hari Rabu tgl 27 Juni 2007, sdr Wilson diwisuda di Utrecht University -
Netherlands. Ia telah meraih gelar Master of Art (M.A.) dalam bidang Applied
Ethics (Etika Terapan). Setahun sebelumnya ia juga telah meraih gelar Master of
Science (M.Sc.) dari The University of Birmingham - England dalam bidang Global
Ethics (Etika Global).
Siapakah Wilson Lalengke ini ? Sahabat-sahabatnya di dunia maya
mengenalnya dengan nama Shony. Demikian juga dengan teman sekelasnya sesama
mahasiswa S-2 di Eropa, menyapanya dengan nama itu. Nama lengkapnya Wilson
Lalengke, seorang Indonesia tulen dengan karakter Indonesia murni yang suka “angin-anginan”
dan keras kepala. Terlahir sebagai anak pertama dari sebuah keluarga petani
miskin 40an tahun lalu dengan nama kecil Wilson dan nama keluarga (Fam)
Lalengke, di sebuah kampung kecil yang sudah musnah ditinggal pergi para
penghuninya di pedalaman Sulawesi Tengah. Kampung tua itu bernama Kasingoli.
Oleh Ibundanya, Wuranggena Kulua, dan almarhum Ayahandanya, Sion
Lalengke, adik-adik dan keluarga besar, serta orang sekampungnya, sosok ini
biasa dipanggil “Soni”. Pasalnya, kata “Wilson” adalah produk Barat yang tidak
dikenal di komunitas kampung kecil tradisional tersebut. Akhirnya, sang Ibu
memungut tiga huruf terakhir dari kata itu, S-O-N, dan menambahinya dengan I,
menjadi SONI, yang kemudian bermetamorfosa kepada bentuknya sekarang yakni
Shony.
Proses evolusi nama ini terinsipirasi oleh sebuah cerita spesial
saat Wilson mengunjungi Jepang, melalui Youth Invitation Program yang
disponsori oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) pertengahan tahun
2000, di negeri mana dia bertemu dan “berteman” dengan seorang putri Jepang
bernama Shino Takeuchi. Saat ini, Wilson yang “ngefans” berat dengan penyanyi
dan pencipta lagu Ebit G. Ade ini, sedang dalam proses penyelesaian studi
pasca-sarjana, Master in Applied Ethics, tahun akademis 2006/2007, atas
dukungan finansial dari Komisi Eropa melalui program Erasmus
Mundusnya.
Ia belajar pada sebuah Konsorsium Universitas yang terdiri atas
Universitas Linkoping (Swedia), Universitas Utrecht (Belanda), dan Universitas
Ilmu dan Tekhnologi Norwegia (Norwegia). Ini merupakan program master kedua
baginya setelah tahun lalu ia menyelesaikan studi pasca-sarjana, Master in
Global Ethics, di Universitas Birmingham, Inggris, atas beasiswa Ford Foundation - International Fellowships Program, yang di
Indonesia dikelola oleh the Indonesian
International Education Foundation (IIEF), berkedudukan di Jakarta.
Dalam usahanya mengembangkan diri, menempuh rangkaian pendidikan
hingga mencapai jenjang pasca sarjana, Wilson yang menyelesaikan pendidikan
Strata-1 (S-1) di Universitas Riau, Pekanbaru, menjalaninya dengan penuh
perjuangan yang tidak dapat dikatakan mudah. Seperti banyak diketahui bahwa
mengenyam pendidikan, apalagi di tingkat pendidikan tinggi, bagi warga
termarginalkan di tanah air merupakan kesulitan yang belum teratasi hingga
kini.
Sebelum akhirnya “terdampar” di Sumatera, Wilson yang dimasa
kecilnya bercita-cita menjadi diplomat ini, menyelesaikan pendidikan dasar dan
menengah di daerah kelahirannya, Sulawesi Tengah. Setelah menamatkan sekolah
dasar di SD Negeri Inpres Lee, di sebuah kecamatan terpencil, Kec. Mori Atas,
dia kemudian melanjutkan ke SMP Negeri Tomata, di ibukota kecamatan itu. Hanya
setahun di sana, ia pindah dan belajar di SMP Negeri 2 Poso, untuk kemudian
melanjutkan studi di SMA Negeri 2 di kota yang sama. Hampir setahun menganggur
setelah menamatkan SMA-nya, Wilson yang hobi beternak ayam dan memancing ini,
kemudian merantau ke Bandung, dengan tujuan utama mengadu nasib mencari
pekerjaan ditahun 1986.
Disebabkan oleh kesulitan mendapatkan pekerjaan di kota sejuk itu,
ia kemudian merantau ke Pekanbaru, Propinsi Riau, di penghujung tahun itu juga.
Di Pekanbaru, dengan bantuan dari sebuah keluarga dokter spesialis saraf
(neurolog), keluarga dr. Chris Rumantir, Wilson yang gemar makan buah-buahan
ini akhirnya boleh mendapat kesempatan kuliah setelah berhasil meraih satu
kursi melalui Sipenmaru (Sistim Penerimaan Mahasiswa Baru, serupa UMPTN
sekarang) di Universitas Riau. Ia diterima di Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, untuk program studi PMP-KN, jenjang Diploma-2, tahun 1987 dan diselesaikan
tepat 2 tahun setelahnya.
Sebelum berangkat kuliah ke Eropa, Wilson yang menikah dengan
Winarsih, seorang wanita Jawa dari Blitar lebih dari 12 tahun lalu ini,
tercatat bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Kantor
Walikota Pekanbaru. Seperti halnya dalam menempuh studi, perjalanan karirnya
juga penuh lika-liku yang sulit. Dimulai dari menjadi guru honorer selepas
menamatkan program Diploma-2, di sebuah SMP swasta di pinggiran kota Pekanbaru
di tahun 1989.
Setahun kemudian ia mendapat tugas sebagai guru CPNS ke sebuah SMP
negeri di kecamatan terpencil di Kuala Indragiri, Kabupaten Indragiri Hilir,
Propinsi Riau. Lebih dua tahun bertugas di sana, ia kemudian meminta mutasi
tugas ke Pekanbaru, terutama dimotivasi oleh keinginan melanjutkan studi. Tahun
1994, ia baru dapat melanjutkan kuliah dengan status “izin belajar” di jenjang
S-1 di universitas yang sama sambil tetap menjalankan tugas sehari-hari sebagai
PNS, namun saat itu ia dimutasi ke Kantor Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru.
Wilson, yang telah dikaruniai empat orang anak - Winda, Anggi,
Angga, Anggun - ini, selanjutnya diberi tugas untuk menjadi guru di sebuah SMA
unggulan di Pekanbaru sejak pertengahan tahun 1998, setelah ia menamatkan
program sarjana setahun sebelumnya. Selain mengasuh mata pelajaran pokok sesuai
latar belakang pendidikannya, ia juga aktif menjadi instruktur komputer dan
internet bagi siswa dan teman-teman seprofesinya. Lima tahun mengabdi menjadi
“cik-gu” di SMA Negeri Plus Propinsi Riau itu, ia kemudian dimutasi ke SMK
Negeri 2 Pekanbaru.
Di tempat tugas barunya, Wilson yang dipercaya menjadi ketua
Jaringan Informasi Sekolah (JIS) Kota Pekanbaru sejak tahun 2002, seakan
menemukan dunianya: “dunia maya” sebagai wilayah untuk diexplorasi, mencari dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan keahlian yang diperlukan bagi peningkatan
diri. Dunia teknologi informasi kemudian menjadi bagian dari kesehariannya.
Membangun jaringan atau network antar sekolah di Pekanbaru melalui program Wide
Area Network (WAN) dan melaksanakan berbagai pelatihan-pelatihan baik untuk
siswa maupun guru sekolah-sekolah se-Pekanbaru adalah tugas pokoknya di SMK
itu. Kerjasama dengan beberapa instansi juga dijalin untuk mensukseskan program
“melek TI” di kotanya, seperti bersama PT. Telkom, PT. Lintas Artha, dan
lain-lain.
Selepas menyelesaikan program masternya nanti, Wilson yang
menyukai film spionase dan fiksi ini, berencana kembali ke tempat tugas dan
melanjutkan pekerjaannya sebagai PNS di Kantor Walikota Pekanbaru. Namun,
sebagai wadah implementasi atau penerapan ilmu yang diperoleh pada program
pasca-sarjananya, ia akan aktif sebagai penulis di media online Kabar
Indonesia. Sebab dengan demikian, menurutnya, pemikiran-pemikiran berdasarkan
teori filsafat dan etika yang dipelajari selama kuliah dapat disebarluaskan
kepada setiap warga pembelajar di seantero nusantara.
Kesukaannya menulis sejak masa SMA telah mengantarkannya sebagai
salah satu penulis yang dihadiahi predikat “Reporter of the Month April 2007″
oleh Kabar Indonesia. Sebelumnya, beberapa tulisannya juga telah dimuat di
Harian Riau Pos dan Mingguan Genta, keduanya media lokal di Pekanbaru, serta di
majalah Caltex, majalah internal PT. Caltex Pacific Indonesia. Saat ini, Wilson
telah dipercayakan menjadi salah satu anggota Dewan Redaksi Kabar Indonesia,
yang selalu siap untuk bekerja keras mendidik dan memajukan bangsanya melalui
media online Kabar Indonesia.
Dalam pergaulan hidup keseharian, Wilson yang doyan makan
“popeda”, sejenis panganan dari sagu, adalah seorang teman yang baik, kata
rekan-rekan terdekatnya. Diapun termasuk figur ayah yang disayangi oleh
anak-anaknya. Namun Wilson juga terkadang tidak menyenangkan bagi segelintir
kalangan, terutama karena karakter dan ciri khasnya yang kepala batu dan suka
menentang arus. Walau sering diingatkan oleh atasannya, “jangan menentang
matahari, matamu bisa buta”, tetapi tetap saja ia bertahan pada prinsip “lebih
baik buta, daripada berputih mata melihat ketidak-benaran dan kemungkaran yang
berlangsung di depan mata…”
Itulah Wilson Lalengke, yang oleh Pak Roch Basuki dilabeli “anak
bangsa” yang sebenarnya tidak banyak keinginan, kecuali berharap agar segenap
rakyat Indonesia sungguh-sungguh diberi kesempatan untuk menjadi
sebenar-benarnya manusia disepanjang usia mereka. (Afs82)