masukkan script iklan disini
Opini : Kebijakan Energi Primer Konstitusional dan
Berdaulat
Oleh :
Marwan Batubara
Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS)
PSC - Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik terutama
terdiri dari komponen- komponen biaya energi primer (solar, gas, batubara, dan
lain-lain), pembelian listrik swasta, biaya operasional pemeliharaan (operation
dan maintenance, O&M), biaya SDM, biaya depresiasi, margin keuntunngan dan
lain- lain. Setiap perubahan atau
penghematan yang terjadi pada komponen- komponen biaya tersebut pasti
berpengaruh terhadap BPP atau tarif listrik.
Sua besar koomponen BPP yang sangat menentukan naik dan turunnya tarif
listrik adalah energi primer dan listrik swasta. Komponen lain seperti biaya SDM, depresiasi,
O&M dan margin keuntungan tetap berpengaruh terhadap nilai BPP listrik
meskipun skalanya lebih kecil dan berbeda- beda.
Dalam enam tahun
terakhir, biaya komponen energi primer dan listrik swasta mengkontribusi
sekitar 70% hingga 75% BPP listrik. Oleh
sebab itu karena niknya harga batubara, gas dan minyak dunia akhir- akhir ini
tidak heran jika sejak Januari hingga Desember 2017, BPP listrik yang harus
ditanggung PLN juga ikut naik. Itu pula
sebabnya mengapa manajemen PLN meminta pemerintah untuk perlakuan khusus kepada
PLN dalam membeli energi primer terutama energi gas dan batubara. Faktanya sekitar 55% - 60% pembangkit listrik
yang dioperasikan PLN menggunakan energi primer batubara.
Ternyata permintaan PLN tersebut tidak mendapat jawaban
yang proporsional atau langkah yang konkret dari pemerintah. Tanpa mempertimbangkan dan membuat kajian
yang komprehensif terlebih dahulu, pemerintah langsung menolak permintaan
PLN. Ssehaliknya PLN melakukan langkah-
langkah efisien secara internal. Tentu
saja sikap pemerintah ini patut disayangkan.
Atas dasar apa dan kepentingan siapa, pemerintah langsung minta PLN
untuk melakukan efisiensi secara internal tanpa pertimbangan dan kajian yang
komprehensif terkait harga batubara?
Belakangan sikap pemerintah memang berubah namun formula harga yang
diharapkan PLN belum juga ditetapkan.
Langkah- langkah efisiensi dan efektifitas pembiayaan
memang akan berpengaruh terhadap BPP listrik sehingga hal tersebut harus
dilakukan oleh PLN. IRESS meminta
manajemen PLN harus melakukan efisiensi dan efektifitas biaya secara
berkelanjutan karena hal- hal tersebut merupakan hal- hal mendasar dan melekat
yang secara otomatis harus tetap dijalankan stiap korporasi. Namun mengingat kontribusi biaya pembelian
batubara sangat besar terhadap BPP listrik maka pemerintah justru dituntut pula
untuk menjalankan perannya sebagai pembuat kebijakan dan peraturan serta
menegakkan kedaulatan negara. Karena itu
IRESS menganggap pemerintah pun sangat mendesak untuk melakukan hal- hl yang
mendasar terkait penggunaan energi primer oleh PLN.
Untuk energi gas bumi misalnya pemerintah telah melakukan
beberapa perbaikan kebijakan bagi sektor industri. Karena itu pemerintah pun perlu menetapkan
harga khusus bagi PLN yang lebih rendah atau sama dengan harga yang dinikmati
oleh sektor industri. Jika dalam memacu
pertumbuhan ekonomi pemerintah telah menurunkkan harga gas untuk sektor
industri, mengapa untuk PLN pemerintah tidak melakukan hal yang sama? Bukanlah listrik yang dihasilkan oleh PLN
juga sangat besar pengaruhnya terhadap industri dan perekonomian? Untuk itu
pemerintah bisa saja mengurangi bagi hasil atau split yang diperoleh untuk
ditransfer kepada PLN.
Dalam sektor batubara juga demikian. Mengingat kontribusi pembangkit listrik yang
menggunakan batubara sebagai energi primer sangat besar yakni sekitar 60% maka
naik atau turunnya harga batubara dalam setahun terakhir telah meningktatkan
BPP listrik secara signifikan. Untuk itu
peran pemerintah membuat kebijakan dan peraturan terkait harga batubara untuk
melindungi kepentingan PLN dan rakyat sangat besar. Jika pemerintah mampu membuat peraturan
khusus atau harga gas yang murah untuk sektor industri maka seharusnya
pemerintah pun harus bersikap sama untuk menetapkan harga khusus batubara bagi
PLN.
Dalam tahun terakhir, Harga Batubara Acuan (HBA) telah
meningkat signifikan. Secara rata- rata
HBAselama tahun 2016 adalah US$61/ton.
Harga batubara dunia mulai naik sejak Oktober 2016 dan mencapai angka
tertinggi yakni US$ 101/ton pada Desember 2016.
Selama 2017 harga tetap tinggi dengan HBA rata- rata Januari – Desember
2017 adalah sekitar US$ 85/ton. Adapun
HBA bulan Januari 2018 adalah US$ 95/ton.
Dari perubahan HBA yang berlangsung sejak Oktober 2016- Desember 2017
tercata telah terjadi kenaikan sekitar 32%.
Kenaikan harga batubara dunia setahun terakhir telah
membuat para produsen atau kontraktor tambang telah menikmati keuntungan atau
windfall profit yang sangat besar.
Hingga Desember 2017 diperoleh informasi bahwa dengan kenaikan harga
teersebut para kontraktor telah memperoleh tambahan keuntungan (windfall
profit) sekitar Rp. 50- 60 triliun.
Dalam hal ini tentu saja pemerintah pun memperoleh tambahan penerimaan
pajak dan bagi hasil yang cukup besar yakni sekitar Rp. 12- 15 triliun.
Namun di sisi lain, karena besarnya konsumsi batubara PLN
untuk energi primer pembangkit- pembangkit listriknya, kenaikan batubara justru
menjadi biaya tambahan biaya yang cukup besar terhadap BPPlistrik. Hingga akhir 2017, PN harus menanggung beban
biaya pembelian batubara sekitar Rp. 15 triliun. Tambahan biaya ini jelas berpengaruh terhadap
BPP listrik. Itulah sebabnya mengapa PLN
meminta pemerintah untuk membuat dan menetapkan kebijakan dan harga batubara
khusus bagi PLN. Kalau tidak, pemerintah
atau PLN perlu menaikkan tarif listrik.
Seperti disinggung di atas, pemerintah menolak permintaan
PLN tersebut dan sebaliknya pemerintah malah meminta PLN melakukan
efisiensi. Padahal jika ditilik lebih
seksama, kenaikan harga batubara dunia telah mendatanglan windfall profit bagi
para kontraktor batubara, “sedikit” kenaikan PNBP bagi pemerintah dan nestapa
tambahan biaya bagi PLN, serta berpotensi mendatangkan kerugian bagirakyat jika
tarif listrik naik. Bagaimana mungkin
pemerintah bergeming dan enggan melakukan hal- hal yang obyektif dan berkeadilan
melihat paradoks dan ketidakadilan ini?
Pemerintah perlu diingatkan bahwa batubara adalah sumber
daya alam (SDA) milik negara dan rakyat, yang jelas seharusnya dikelola oleh
BUMN untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat.
Hal ini jelas diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Menyerahkan pengelolaan SDA batubara untuk
dijalankan oleh perusahaan- perusahaan swasta atau apalagi kepada asing, sudah
merupakan pelanggaran konstitusi.
Apalagi jika setelah ini, pemerintah tidak berkeinginan untuk melindungi
kepentingan negara dan rakyat dengan membuat kebijakan dan peraturan yang
obyektif dan berkeadilan.
Sikap pemerintah tersebut jelas menunjukkan keberpihakan
kepada kontraktor swasta dan asing.
Oligarki penguasa dan pengusaha telah berperan sangat dominan untuk
membuat kebijakan dan peraturan yang inkonstitusional dan tidak berpihak pada
rakyat. Hal ini harus segera dihentikan! Untuk itu IRESS meminta pemerintah untuk
segera menetapkan kebijakan dan peraturan harga khusus batubara kepada PLN
melalui penerbitan Perpres atau Permen ESDM.
Jika tidak maka dapat dikatakan Presiden telah melanggar konstitusi dan
dapat dimakzulkan.
Alternatifnya, pemerintah dapat pula menerapkan peraturan
skema windfall profit tax. Misalnya
untuk harga batubara hingga US$ 60/ton, pajak yang diberlakukan normal. Untuk pita (band) harga US$ 60/ton- US$
80/ton, pajak yang dikenakan harus ditambah sebesar angka tertentu terhadap
pajak normal. Untuk harga US$ 80-
100/ton tambahan pajak yang dikenakan harus lebih besar. Jika harga di atas US$ 100/ton tambahan pajak
harus lebih besar lagi. Jika dianggap
perlu, jumlah pita harga dan tarif pajak yang dikenakan bisa dibuat lebih
banyak sesuai dengan kepentingan obyektif yang berkeadilan. Namun jika harga turun menjadi lebih rendah
dari angka tertentu, misalnya kurang dari US$ 65/ton agar pengusaha batubara
dapat survive maka pemerintah pun harus memberi insentif atau pengurangan
pajak.
Adanya tambahan penerimaan negara dari penerapan windfall
profit diatas dapat ditransfer oleh pemerintah kepada PLN guna mengkompensasi
dan meringankan tambahan beban biaya/ BPP listrik akibat kenaikan
batubara. Dengan begitu PLN tetap dapat
menjalankan fungsi pelayanan publiknya secraa berkelanjutan dan rakyat pun
tidak perlu hrus menjadi korban kenaikan tarif listrik akibat naiknya harga
batubara yang dilepas pada mekanisme pasar.
Untuk itu pemerintah harus menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk
membuat peraturan dan menjalankan fungsi- fungsi negara untuk memerintah
sebagai negara yang berdaulat.
Mungkin masih terdapat alternatif lain yang dapat
dijalankan pemerintah di luar dua aternatif di atas. Misalnya dengan
memberlakukan kombinasi skema harga khusus bagi PLN dengan pola windfall profit
tax. Atau dengan alokasi kewajiban
Domestic Market Obligation (DMO) batubara minimal kepada kontraktor, berikut
harga khusus untuk diberikan kepada PLN.
Dari semua alternatif yang tersedia, demi pelaksanaan amanat konstitusi,
tegaknya kedaulatan negara dan terciptanya keadilan bagi seluruh rakyat maka
IRESS meminta pemerintah untuk berdaulat terhadap batubara di Indonesia.
Kita memprotes keras sikap pemerintah yang sejauh ini
bersikap lamban untuk merubah kebijakan dan peraturan lebih obyektif,
berkeadilan, konstitusional, memihak rakyat dan melindungi BUMN. Sejauh ini pemerintah justru lebih memihak
kontraktor tambang dan abai terhadap nasib perusahaan milik negara yaitu PLN
dan ratusan juta rakyat Indonesia yang menjadi pelanggan PLN. Tahun lalu PLN telah rugi Rp. 15 triliun
akibat kebijakan pemerintah yang pro kontraktor tersebut. Jika kebijakan yanng inkoknstitusional dan
tidak adil terus berlangsung, PLN akan mengalami covenant, credit ratingnya
turun dan akgirnya mengalami default.
Apa pemerintah memang menginginkan PLN untuk bangkrut guna memuluskan
dominasi swasta dan asing di sektor kelistrikan nasional? (Red)